Minggu, 21 Desember 2014

Lebih dekat dengan Darmawan Denassa

Darmawan Denassa menyelesaikan pendidikan tingginya di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar (2002). Di kampus merah Tamalanrea Denassa mengenal dan aktif diorganisasi kemahasiswaan. Dunia kemahasiswaan memberinya banyak pelajaran bermakna melewati phase selanjutnya. Ia pernah dilingkupi pertanyaan, mengapa menjadi aktif berorganisasi ketika kuliah padahal sejak Sekolah Dasar (SD) hingga tamat Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Denassa tidak aktif dalam organisasi intra sekolah. Setelah mengunjungi banyak tempat ia kemudian bisa menemukan jawaban dari pertanyaan itu.

Denassa lahir dari pasangan Mappa Daeng Beta dan Kasmawati Daeng Ngati. Memiliki sepasang adik, Denassa lahir sebagai anak pertama dalam keluarganya. Kedua orang tuanyalah yang mendidikanya bahwa hidup ini kerja. Ibunya telah ditinggal ayahandanya sejak kecil menempa ibunya bahwa mengejar mimpi itu harus dengan sungguh-sungguh. Demikianpun ayahnya ditinggal ibundanya di usia yang masih belia.

"Ibu saya harus mengumpulkan buah mangga yang jatuh lalu dibawa ke sekolah untuk ditukar dengan sepotong pensil agar beliau bisa menulis. Bajunya yang berwarna putih yang sobek harus beliau tambal dengan kain berwarna merah muda karena tak mampu membeli kain apalagi baju baru. Beliau mengumpulkan padi-padi tercecer di sawah untuk dijual agar bisa membeli buku tulis. Ketika suatu hari beliau melihat mobil truk melintas, ia menguatkan mimpi ingin memiliki mobil seperti itu suatu hari. Beliau bisa membeli beberapa buah mobil akhirnya dengan usaha keras yang tak henti dilakukannya" kisah Denassa menirukan cerita yang pernah disampaikan ibundanya.

Kakeknya bernama Rangga Daeng Liwang, ayah Daeng Ngati, adalah anak bungsu dari istri pertama I Mammuntuli Daeng Rombo, anrong guru guru Bontonompo. Tapi darah biru yang mengalir dalam tubuh ibunya tidak menghalangi perempuan itu bekerja dan mengunjungi sawah hampir setiap hari, bahkan ketika ia masih aktif mengajar sebagai guru. Bagi Denassa ibundanya merupakan inspirasi terbesar dalam hidupnya, ia melihat keteguhan dan keuletan padanya.

Masa Kecil
Saat indah usia kanak-kanak dilewatkan Denassa di kampung kelahirannya Borongtala, sebuah kampung lama di kelurahan Tamallayang, kecamatan Bontonompo, kabupaten Gowa, Sulawesi-Selatan. Ia besar di lingkungan keluarga ibundanya, sehingga sehari-hari lebih intens berinteraksi dengan sepupu dari saudara Daeng Ngati.

Mempermainkan mainan rakyat seperti asing, enggo, tingko, dende-dende, serta permainan musiman seperti main karet, kelereng, biji asam, wayang, dll.  Hal paling berkesan dalam bermain yakni ketika bisa membuat permainan sendiri seperti bedil-bedil dari dahan bambu yang dikenal dengan nama karabba, permainan mobil-mobilan dari batang pisang atau kayu, senapan-senapan dari batang daun pisang, atau bermain layang-layang yang dibuat sendiri.

Sebelum sekolah di tingkat SD Denassa pernah belajar di dua Taman Kanak-kanak (TK) di Bontonompo yaitu  TK Pertiwi Bontonompo di Tamallaeng dan TK Ikambe di Bontorikong.

Waktunya Sekolah
Darmawan Denassa  mulai masuk SD Negeri Rappokaleleng tahun 1983, masa ini ia setingkat dengan dua orang sepupunya Irma dan Salma. SDN Rappokaleleng lebih akrab disebut SD Center, pusat kegiatan pendidikan di kecamatan Bontonompo. Ketika itu Bontonompo belum dibagi menjadi dua kecamatan.
SD Center Rappokaleleng menjadi langganan juara beberapa kegiatan antar sekolah, khususnya bidang kesenian. Seorang guru pembina kesenian bernama Ibu Hasizah menjadi mentor penting mendidik siswa-siswi SD Center dalam menari, menyanyi, dan baca puisi.

Pada tingkat I, Denassa pernah ikut kegiatan menari, juga ikut lomba puisi. "Saya ikut lomba puisi tingkat kelas, saya sudah menghafal syairnya tapi karena malu membacanya di depan kakak kelas dan teman-teman saya tidak membawa teks. Saya berpikir keren jika tanpa teks, tapi saat tampil saya lupa syairnya, dewan jurinya mempersilahkan saya duduk sebagai tanda waktu saya tampil sudah selesai" ingatnya masa itu.

Denassa tidak aktif dikegiatan ekstrakurikuler di masa ini, hanya sekali ikut barisan 17-an, ketika itu sekolahnya ikut barisan bebas karena jumlah pesertanya dianggap kurang, Denassa yang kebetulan ada disekitar tempat persiapan diminta gurunya mencukupi barisan itu. Mengenakan paian putih berlengan panjang, dengan sebuah buku ia ikut menapaki rute barisan yang berjarak sekitar empat km.

Ketika duduk di kelas lima, Denassa diajak ayahandanya Daeng Beta, ia menyebut ayahnya dengan panggilan Tetta, ke Gunung Bawakaraeng di kecamatan Tinggimoncong, ketika itu usianya 11 tahun. Perjalanan itu meninggalkan kesan yang dalam baginya. Pada perjalanan itu terjadi tragedi meninggalnya puluhan orang bertepatan hari kurban 10 Dzulhijjah  1405 bertepatan hari Selasa 27 Agustus 1985.

Di SDN Rappokaleleng Denassa memiliki teman dari beberapa kampung  antara lain Rappokaleleng, Ballaparang, Bontocaradde, dan Borongtala. Kampung-kampung ini ketika itu masih dalam wilayah administratif  kelurahan Bontonompo.  Teman-teman Denassa di SDN Center antara lain Hilman, Samsuddin, Rahim, Nurwahidah, Kasmawati, Syarifuddin, Jumasiah, Rusli, Mustam, Mursalim.   Di tingkat SD  diselesaikan selama enam,  1989  Denassa meninggalkan Rappokaleleng dan masuk Sekolah Tingkat Pertama (SMP) Negeri Bontonompo di Tamallaeng.

Kegemaran
Mengumpulkan benda pos, filateli, merupakan kegemaran yang mulai digeluti sejak duduk di bangku kelas satu di SMEA Negeri Limbung. Takjub pada gambar yang dimuat benda kecil yang ditemukan Rowland Hill menjadi alasan pertama mengapa ia tertarik mengumpulkan benda ini. Dari kegemaran itu mendorongnya mencari teman melalui korespondensi.

Sejak di di SMEA ia telah menjalin komunikasi dengan anak-anak seusianya melalui surat menyurat. Denassa mengirim surat pertama ke Pasuruan, kepada seorang keluarga temannya, Winarti Nigrum di SMEA. Surat balasan itupun menjadi surat pertama yang diterimanya. Ia mengisahkan tangannya sampai bergetar ketika Pak Pos menemukan rumanhya dan memberikannya sepucuk surat yang isinya secarik kertas dan beberapa lembar prangko pemberian teman yang baru dikenalnya itu.

Mengapa memilih mengumpulkan prangko dan korespondensi. Karena antara tahun 1992 hingga 1997 pilihan anak-anak untuk berkomunikasi masih sangat terbatas. Waktu-waktu itu ia dan anak-anak seusianya belum kenal pager, apalagi electronic mail dan short message service (SMS). Pusat perbelanjaan pun yang dikenal masih pasar sentral di Makassar atau kawasan perbelanjaan di bilangan pantai Losari. Belum ada mall, plaza, dan market-market tempat nongkrong anak-anak baru gede seperti sekarang. Salah satu cara melepaskan waktu dan menyibukkan diri dengan mengumpulkan benda pos serta menulis surat untuk berinteraksi dan bertukar informasi.

"Saya menemukan dan memperoleh banyak hal luar biasa dari dua kemeran saya itu. Dengan prangko dan benda pos lainnya seperti carik kenangan, sampul hari pertama (SHP), sampul peringatan, mini sheet, dll saya dapat banyak informasi selain inspriasi dari gambar-gambar yang menurut saya luar biasa. Masa itu kita belum ada search engine untuk menemukan informasi yang ingin kita temukan. Saya dapat pengetahuan banyak dari prangko, dan bisa menyusun kalimat serta membuat surat dari kegemaran korespondensi" kisah Denassa.

Tapi Denassa salalu membuat hobinya menjadi produktif, melalui filateli ia memperkenalkan universitas, tokoh daerah, dan tanah kelahirannya  dikenal dengan cara berbeda, melalui prangko dan sampul.  Atas inisianya prangko peringatan Universitas Hasanuddin ke-50 tahun diterbitkan pemerintah Republik Indonesia pada September 2006 silam. Demikian halnya dengan prangko bertema Syekh Yusuf terbit sebagai joint issue Indonesia dan Afrika Selatan. Serta di tahun 1995 Denassa menjadi salah satu Bintang Sahabat Pena Sulsel yang diselenggarakan kantor Pos Besar Ujungpandang. Sedang di organisasi penggemar benda pos, Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) Cabang Makassar, Denassa pernah menjabat ketua antara tahun 2000 hingga 2012.

Darmawan Denassa
Kebiasaan Menulis
Sejak menempuh pendidikan di Sastra Unhas, Denassa rajin menulis sajak, esai, dan beberapa cerpen disiarkan dalam beberapa majalah, harian, dan koran. Sajaknya dimuat dalam antologi bersama Sajak dengan Huruf Tak Cukup diterbitkan Inninawa (2005).
Persentuhan dengan karya sastra dimulai sejak kecil, sebelum mengecap pendidikan dasar. Ibunyalah yang memperkenalkannya dengan beberapa sajak karya sastrawan Indonesia seperti Nugroho Notrosusanto. Ia sering membacakan puisi Nawar Wulan di depan anak-anak didik ibunya dari Bategulung, Passallanggang, Bilonga, Karebasse, dan Jannaya yang sekolah di SD Inpres Bategulung.

Di Fakultas Sastra, Denassa bertemu Aslan Abidin dan Muhari Wahyu Nurba sastrawan yang juga mengecam pendidikan di fakultas yang sama. Dari kedua seniornya ini Denassa sering berinteraksi tentang penulisan sastra.

Tepi terjal Bawakaraeng/Ada sunyi abadi bunga Edelweis dan daun sejati yang wangi/Ada kabut putih tebal berputar lalu menari,...
Bait pertama puisi berjudul Tepi Terjal Bawakaraeng di atas ditulis Denassa pada tahun 1997. Sajak itu menjadi salah satu pemenang pada lomba menulis puisi memperingati ulang tahun Surat Kabar Kampus (SKK) Identitas tahun 2000.

Asal Usul nama Denassa
Denassa merupakan singkatan dua nama Daeng Nassa, yang dulu selalu di singkat oleh Darmawan menjadi D. Nassa, sehingga rangkaian namanya menjadi Darmawan D. Nassa. Nama ini sering muncul SKK Indentitas dan harian Fajar khususnya di kolom budaya.
Pada tahun 1999 Darmawan mulai memesan majalah sastra Horison yang diterbitkan Balai Pustaka. Sekitar dua bulan setelah pesanan beberapa edisi majalah tiba di Jalan Borongtala Nomor 57, kediaman orang tua Darmawan. Pada sepotong kertas bagian alamat tujuan tercantum  nama jalan yang diatas tepat seperti alamat yang dikirim ke sirkulasi. Namun ada perbedaan pada tulisan nama pemesan, bukannya D. Nassa, tapi De Nassa. Singkat cerita dari tulisan inilah pertama kali penggabungan dua kata yang sesungguhnya gelar daerah itu menjadi Denassa yang digunakan keluarganya menjadi family name saat ini.

Kisah di Balik Berdirinya Rumah Hijau Denassa
Sejak 2009 Denassa menetap di Rumah Hijau Denassa (RHD) kawasan konservasi dan edukasi  yang dibangunnya sejak 2007 silam. Kawasan ini bertagline Konservasi, Edukasi, Harmoni merupakan kawasan konservasi swadaya yang bertujuan menyelamatkan plasma nutfah Indonesia, budaya, dan kekayaan kultural.

Pada usia SD, Denassa masih sangat ingat dua pohon besar tumbuh menjulang di belakang rumah orang tuanya. Satu batang pohon Mangga (Magifera indica) jenis Kaklurung dan sebatang Asam (Tamarindus indica). Mangga Kaklurung itu tingginya mencapai  30 meter dengan lingkar batang sekira dua setengah meter. buahnya kecil, lebih kecil dari genggamannya ketika itu pada bagian dalamnya terdapat garis-garis hitam berkayu tapi tidak terasa keras jika dimakan. Garis hitam inilah yang menjadikan mangga ini sebut Kaklurung. Pada musim mangga itu berbuah antara November hingga Januari, Denassa sering memakan buahnya, meski tidak terlalu manis tapi ada rasa khas pada buahnya.  Denassa berusia 11 tahun ketika mangga itu ditebang, dijadikan lepa-lepa sejenis perahu kecil.

Kisah yang mengikuti pohon asam memberi kesan penting bagi Denassa. Tamarin itu pohonnya besar, rimpang daunnya sekitar 15 meter ke seluruh penjuru  dengan tajuk khas pohon Camba, nama lokal tumbuhan menahun ini. Pohon asam besar itu milik neneknya Kuasa Daeng Sunggu dari garis keluarga ayah ibunya, pohon itu diberikan kepada pamannya Rahman Daeng Rani, lalu ibunya membeli pohon itu.
Tinggi batang sebelum menemukan cabang kecil sekitar sembilan meter, pada cabang itulah bambu sebagai tangga ditambakkan jika ingin dipanjat. Diameter batang pohon asam itu mencapai  tiga meter, kulit batang berwarna coklat keabu-abuan, kasar dan pecah, beralur-alur vertikal. Pada bulan Oktober hingga November daunnya akan berganti warna dari hijau tua kekuningan menjadi hijau muda segar. Beberapa bulan setelah itu akan muncul tungkai-tungkai bunga yang lebat, sehingga ketika jatuh untuk memberi ruang bunganya berkembang menjadi buah, seperemoat halaman belakang rumah akan tertutupi warnah hijau tungkai dan daun mudah yang jatuh.

Pohon asam itu menjadi pohon asam terbesar di Borongtala, bahkan di kampung sebelahnya Bontorikong. Ketika mulai menjatuhkan buah mudanya warga sudah mulai mengunjunginya, mengumpulkan buah-buah itu sebagai campuran rebusan sayur dan ikan. Buah mudanya juga sangat memikat jika dihaluskan lalu menjadi bahan cocolan ikan bakar atau lauk barbecue lainnya. Warga akan semakin banyak mengunjungi menjelang buahnya matang, menunggu buah-buah yang berasa seperti namanya itu jatuh tertempa angin.

Rimbun tumbuhan asalnya diduga dari savana kering di Afrika tropis ini akan menjadi public space sekitar satu bulan hingga buahnya habis jatuh karena angin atau dipanjat. Ketika berkumpul itulah anak-anak akan bertemu orang seusianya, ibu berbincang dengan ibu lainnya, remaja akan berkisah tentang sekolahnya atau tempat yang baru dikunjunginya. Di bawah rindang tajuk dan lebat buahnya pohon itu kami berbagi kisah, orang tua mengisahkan masa kecilnya, ada yang menceritakan guru dan pelajarannya di sekolah, tentang rencana esok hingga waktu-waktu yang akan datang.
Di bawah rimpang pohon itu permainan dimulai, datte-datte biji asam yang baru lepas dari daging buahnya, saling kejar, dende-dende, santo. Tawa riang anak-anak sesuinya Denassa akan memecah sepih, menghentikan bisik-bisik. Tidak jarang suara tagis yang terdengar karena pertengkaran kecil anak-anak.  Ditengah suasana itu kadang terinterupsi oleh angin yang menjatuhkan banyak buah asam sehingga semua berhamburan. Jika sudah seperti itu beberapa orang-orang malah kebingungan hendak memungut yang mana.

Denassa selalu terkesan dengan habitus asam besar itu, tapi karena pohon itu tumbuh hanya sekitar 10 meter dari dapur rumah orang tuanya, saat Denassa duduk di bangku SMP pohon itu akhirnya ditebang. Dijadikan arang oleh Tettanya dan dijual ke warung ikan bakar di tepi jalan nasional.
Kenangan indah dengan Tamarin itulah yang menjadi salah satu penyemangat kuat baginya mendirikan RHD sebagai kawasan konservasi dan tempat pertautan informasi.


Autobiografi Darmawan Denassa.

1 komentar: